Menkeu: BPK Kembali Nyatakan LKPP 2006 “Disclaimer”

Posted: 07/02/2009 in Kantor
Tag:

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, mengatakan bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 dinyatakan tidak ada opini (disclaimer) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena dinilai tidak diketahui kebenarannya, sama seperti penilaian BPK terhadap LKPP 2004 dan 2005.
“Sebelum BPK melaporkan ke DPR hasil auditnya, dan sebelum diumumkan, saya umumkan sendiri. Jadi, saya bocorkan sendiri ke publik,” ujarnya, usai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Ketua BPK, Anwar Nasution, yang menyampaikan penilaian terhadap LKPP 2006 di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat.

Sri Mulyani menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi opini BPK terhadap LKPP 2006, yaitu menyangkut beberapa kelemahan dalam penerapan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara tahun 2004 yang mulai diimplementasikan tahun 2005, sehingga dalam menyampaikan LKPP juga menyangkut sejumlah departemen dan badan usaha lainnya, seperti badan layanan umum, rumah sakit dan institusi pendidikan yang ada di daerah.

Selain itu, menurut dia penilaian “disclaimer” karena masih adanya kelemahan dalam sistem pengendalian internal di instansi-instansi pemerintah, selain juga lemahnya kepatuhan dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.

Sementara itu, Anwar Nasution mengatakan, terdapat beberapa permasalahan pokok yang menjadi penyebab terulangnya status disclaimer itu, antara lain penerapan paket UU Keuangan Negara yang belum konsisten.

Menurut dia, untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan APBN di masa mendatang, BPK merekomendasikan pemerintah, agar mengambil langkah-langkah perbaikan, seperti rencana aksi menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK tersebut.

Ia menjelaskan, yang harus menjadi pertimbangan pemerintah antara lain lemahnya sistem akuntasi, seperti rekonsiliasi realisasi anggaran antara Depkeu dan Kementerian Negara yang belum berjalan efektif, sehingga sering menimbulkan perbedaan angka yang tidak dapat ditelusuri kebenarannya.

Dikatakannya, sistem teknologi informasi yang digunakan sangat beragam tetapi belum terintegrasi sehingga banyak kelemahan dalam pengendaliannya.

Anwar juga menilai kualitas sumber daya manusia dalam menyusun laporan keuangan masih terbatas karena sebagian besar SDM saat ini memiliki latar belakang pendidikan di luar akuntansi.

Ia juga menyoroti belum diterapkan sistem perbendaharan tunggal, sebagaimana diatur dalam UU Perbendaharaan Negara, yang mengakibatkan rekening-rekening pemerintah tidak dapat dikendalikan karena tersebar di berbagai bank dan dimiliki atas nama ribuan pejabat negara.

Hal lain yang juga menjadikan LKPP 2006 selalu mendapat opini “disclaimer”, menurut dia, adanya penerimaan negara dari hasil minyak dan gas (migas) yang tidak seluruhnya diserahkan ke kas negara karena sebagian digunakan untuk pengeluaran yang tidak masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Untuk itu, Anwar menyatakan, pemerintah perlu melakukan penyempurnaan sistem akuntasi termasuk teknoligi informasi terkait realisasi pendapatan dan belanja negara, aset tetap maupun terhadap utang negara.

“Perlu pengaturan, dan penertiban rekening-rekening atas nama pejabat negara serta peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya melalui pengendalian secara periodik, termasuk peningkatan akses BPK memeriksa pajak dengan pemberian ijin pemeriksaan dokumen pajak,” katanya.

Anwar berharap, rekomendasi tersebut dapat ditindaklanjuti, dan BPK terbuka untuk menkomunikasikannya apabila ada hambatan dalam perbaikan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.

“Ini menjadi salah satu tujuan strategis BPK mendorong tercapainya ‘good governance’,” katanya menambahkan. (*)

Tinggalkan komentar